KEBERADAAN SALAHAN DALAM KARAWITAN GAYA SURAKARTA

Authors

  • Kartika Ngesti Handono Warih
  • Hadi Boediono

DOI:

https://doi.org/10.33153/keteg.v17i2.2388

Abstract

Abstract“The Presence of Salahan in Surakarta Style Karawitan†is the result of a research study that not only discusses salahan in terms of the aspect of treatment or garap in karawitan but also analyzes aspects outside karawitan. The writer is interested in the use of the term salahan in karawitan because salahan is a phenomenon that is wrong or incorrect (salah) but is intentionally presented in a performance. Musicians from the past had a particular goal and reason for using the term salahan. There is still ambiguity about certain patterns as to whether or not they can be classed as salahan or should be identified using a different term. Based on this interest, the writer formulated two problems to be addressed: first, why is salahan present in the performance of Surakarta style karawitan, and second, what identifies a pattern as salahan or distinguishes it from banggen or other similar patterns. In order to obtain data to support this paper, a number of stages were followed: data collection, data validation, data reduction, and data analysis. The data was collected from several sources, including interviews, observation, a library study, and recording transcripts. This article investigates the object of the study, namely salahan, in more depth. It adopts Hussrel’s concept of phenomenology, in which a phenomenon should not only be viewed from outside but should also be explored in more depth to see what exists behind the outer layer.The meaning of salahan in a karawitan performance is a symbol of the imperfectness of human beings as they pass through their journey of life, a representation of the form of a balanced life, and a representation of the phenomenon of current development. In a karawitan performance itself, salahan functions as a sign or ater on the approach to the gong stroke, or the lowest point of a melody. It also marks the end of a repetition and merely enhances the aesthetics of a performance, emphasizing the sense of seleh, yet not influencing the course of performance of a gending. Keywords: meaning, ater, salahan.Abstrak“Keberadaan Salahan dalam Karawitan Gaya Surakarta†merupakan hasil penelitian yang tidak hanya membahas mengenai salahan dari aspek garap karawitan saja melainkan juga mengupas hal yang berada di luar karawitan. Penulis tertarik dengan keberadaan istilah salahan dalam karawitan, karena salahan adalah suatu fenomena yang salah tetapi secara sengaja dihadirkan dalam sajian. Para pengrawit terdahulu memiliki alasan dan tujuan khusus dalam memberikan istilah salahan. Selain itu juga masih terdapat kerancuan mengenai suatu pola apakah termasuk salahan atau terdapat istilah lain. Berdasarkan ketertarikan tersebut penulis merumuskan dua rumusan masalah yaitu pertama mengapa terdapat salahan dalam sajian karawitan gaya Surakarta, dan yang kedua apakah yang dapat dijadikan pembeda atau yang dapat mengidentifikasikan salahan dengan banggen atau pola-pola lain yang hampir menyerupai.Guna mendapat data yang dapat mendukung tulisan ini maka digunakan beberapa tahapan metode meliputi; tahap pengumpulan data, validasi data, reduksi data, dan analisis data. Data yang diperoleh berasal dari berbagai sumber diantaranya; wawancara, observasi, studi pustaka, dan transkip rekaman. Tulisan ini mengkaji obyek yaitu salahan secara lebih mendalam. Sejalan dengan pemahaman fenomenologi menurut Hussrel yaitu suatu fenomena tidak hanya dilihat dari kulit luarnya saja, akan tetapi yang lebih mendalam adalah melihat apa yang ada di balik yang tampak.Makna keberadaan salahan dalam sajian karawitan yaitu sebagai simbol ketidaksempurnaan manusia dalam menjalani proses kehidupan, sebagai gambaran wujud keseimbangan hidup, dan suatu gambaran fenomena perkembangan zaman. Dalam sajian karawitan sendiri salahan berfungsi sebagai penanda atau ater menjelang gong, atau titik melodi terrendah. Selain itu juga sebagai tanda batas pengulangan yang keberadaannya hanya sebatas menambah rasa estetik atau penekanan rasa seleh, dan sama sekali tidak mempengaruhi jalannya sajian gendhing. Kata Kunci: makna, ater, salahan.

Downloads

Download data is not yet available.

References

Any, Anjar. 1990. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan Sabda Palon. Semarang: Aneka Ilmu.

Djelantik. 1990. Pengantar dasar ilmu estetika jilid 1. Denpasar: STSI Denpasar.

Endraswara, Suwardi. 2008. Mistik Kejawen. Jogjakarta: Narasi. 2003 Laras Manis, Tuntunan Praktis Karawitan Jawa. Yogyakarta: Kuntul Press.

Guntur. 2001. “Studi Ornamen†dalam buku ajar prodi s-1 kriya seni, program due-like STSI Surakarta.

Jonathan. 2010. “Signifikasi ater dalam Komposisi Sipakatau Ensembel yang berjudul Metamorfosisâ€. Skripsi ISI Surakarta.

Murniningsih, Dewi. 1999. “Qasidah Nasidaria Kalurahan Kauman, Kotamadya Semarang. Kajian Fungsi dan Bentuk Penyajianâ€. Skripsi STSI Surakarta.

Palgunadi, Bram. 2002. Serat Kandha Karawitan Jawi. Bandung: Penerbit ITB.

Panggiyo. 1981. “Pembawaan Karawitan Pakurmatan Jenis Carabalen, Monggang, Kodok Ngorek, Sekaten†Kertas guna memperoleh ijazah seniman karawitan. Surakarta: ASKI.

Purwanto, Djoko. 2010. “Ricikan Kethuk pada Karawitan Jawa Gaya Surakartaâ€, Jurnal Gelar,volume 8, No. 2 (Desember) hal. 207-218.

Rustopo. 1981. “Analisa Garap Racikan pada Sekatenâ€. Kertas guna memperoleh ijazah seniman karawitan. Surakarta: ASKI.

Soeharto, M. 1978. “Kamus Musik Indonesiaâ€. Jakarta: PT Gramedia.

Sudarsono, dkk. 1977-1978. “Kamus Istilah Tari dan Karawitan Jawaâ€. dalam Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Jakarta.

Sumarsam. 1979. Kendangan Gaya Solo (Kendangan Kalih & Setunggal dengan Selintas Pengetahuan Gamelan. Surakarta: ASKI Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

_______. 2002. Hayatan Gamelan. Surakarta: STSI Press.

Supanggah. 2002. Bothekan Karawitan I. Jakarta: MSPI.

_______. 2007. Bothekan Karawitan II: Garap. Surakarta: ISI Press.

Supardi. 2004. “Karawitan Pakurmatan†dalam Diktat Petunjuk Praktikum. Program Hibah A-1 Jurusan Karawitan STSI Surakarta.

Narasumber

Rahayu Supanggah (68 tahun), empu dalam karawitan sekaligus seorang komposer, juga tengah mengajar S1 dan S2 di Institut Seni Indonesia Surakarta, Ngringo, Palur, Karanganyar

Rusdiyantoro, (59 tahun), pengrawit serta pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta Jurusan Karawitan, Ngringo, Palur, Karanganyar

Saptono, (65 tahun), pengrawit sekaligus abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, Kleco

Sukamso (59 tahun), pengrawit serta pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta Jurusan Karawitan, Ngringo, Palur, Karanganyar

Suraji (56 tahun), pengrawit serta pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta Jurusan Karawitan, Ngringo, Palur, Karanganyar

Downloads

Published

2019-03-25

Issue

Section

Articles